KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah
SWT, atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul: “QUNUT MENURUT PANDANGAN NU DAN MUHAMMADIYAH”
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan
makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Allah SWT. dan tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat
dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan
makalah ini masih dari jauh dari kesempurnaan baik materi maupun cara
penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya dengan segala kemampuan
dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh
karenanya, penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima
masukan, saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya tim penulis berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Terdapat tiga poin yang akan kita bicarakan
dalam masalah Qunut, yakni Qunut Subuh, Qunut Nazilah, dan Qunut Witir. Tiga
macam qunut ini adalah masalah khilafiyah yang tidak asing lagi di kalangan
umat Islam, perbedaan itu juga terjadi di antara NU dan Muhammadiyah.
Dalam masalah qunut subuh, NU bermadzhab kepada
Imam Malik dan Syafi’i yang mana qunut subuh dimasukkan dalam perkara sunnah
ab’adh, sunnah yang apabila lupa tidak dikerjakan maka disunnahkan untuk
melakukan sujud sahwi. Sementara Muhammadiyah, tidak membenarkan adanya qunut
(berdoa “allahummah dinii.. dst) di shalat subuh.
Untuk masalah qunut nazilah, NU menghukuminya
sunnah hai’ah (kalau lupa tertingal tidak disunatkan bersujud sahwi), karena
Nabi juga melakukannya. Sementara Muhammadiyah, memutuskan tarjihnya bahwa
qunut nazilah tidak lagi boleh diamalkan, sebab sudah terjadi mansukh, tetapi
qunut nazilah juga boleh dilakukan selama tidak menggunakan kutukan dan
permpohonan pembalasan dendam terhadap perorangan.
Kemudian, dalam masalah qunut witir, NU
memberikan beberapa pilihan dari pendapat ulama salaf. Sebagaimana ditulis KH
Cholil Nafis, bahwa menurut pengikut Imam Abu Hanifah (hanafiyah) qunut witir
dilakukan diraka’at yang ketiga sebelum ruku’ pada setiap shalat sunnah.
Menurut pengikut Imam Ahmad bin Hambal (Hanbaliah) qunut witir dilakukan
setelah ruku’. Menurut pengikut Imam Syafi’i (Syafi’iyyah) qunut witir
dilakukan pada akhir shalat witir setelah ruku’ pada separuh kedua bulan
Ramadlan. Akan tetapi menurut pengikut Imam Malik qunut witir tidak
disunnahkan. Namun demikian, dalam tataran keseharian warga NU lebih condong
memakai pendapat Imam Syafi'i dalam masalah qunut witir. Sementara Muhammadiyah
sendiri, sebagaimana ditulis Abdul Munir Mulkan (2005) merujuk pada HPT
Muhammadiyah bahwa untuk qunut witir Muhammadiyah masih menangguhkan
pengambilan keputusannya.
Untuk itu pada bab masalah qunut, hanya akan
kami jabarkan pendapat qunut nazilah dan qunut subuh dari ulama NU dan
Muhammadiyah, sedangkan untuk qunut witir hanya akan kami jabarkan pendapat
dari kalangan NU saja.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Nahdhatul
Ulama
a. Qunut Nazilah
a. Qunut Nazilah
Nazilah sendiri biasa diartikan dengan
“musibah.” Nabi Muhammad SAW, demikian tulis Gus Mus, pernah berqunut pada
setiap lima waktu shalat, yaitu pada saat ada nazilah (musibah). Saat
kaum muslimin mendapat musibah atau malapetaka, misalnya ada golongan muslimin
yang teraniaya atau tertindas. Pernah pula Nabi melakukan qunut muthlaq, yakni qunut yang dilakukan
tanpa sebab yang khusus.
Jadi, qunut nazilah adalah qunut yang dilakukan
saat terjadi malapetaka yang menimpa kaum muslimin. Seperti dulu ketika
Rasulullah SAW atas permintaan Ri'l Dzukwan dan 'Ushiyyah dari kabilah Sulaim,
mengirim 70 orang Qura’ (semacam guru ngaji) untuk mengajarkan soal agama
kepada kaum mereka. Dan ternyata setelah sampai di suatu tempat yang bernama
Bi'r al-Ma'uunah orang-orang itu berkhianat dan membunuh ketujuh puluh orang
Quraa tersebut. Mendengar itu Rasulullah SAW berdoa dalam shalat untuk kaum
mustadh'afiin, orang-orang yang tertindas, di Mekkah.
Qunut Nazilah adalah sunnah hai’ah hukumnya
(kalau lupa tertingal tidak disunatkan bersujud sahwi). Hal ini sebagaimana
menurut Imam Syafi'i, qunut nazilah disunnahkan pada setiap shalat lima waktu,
setelah ruku' yang terakhir, baik oleh imam atau yang shalat sendirian (munfarid): bagi yang makmum tinggal
mengamini doa imam.
Dasar disunnahkannya qunut nazilah oleh
kalangan NU antara lain hadist Nabi yang artinya:
“Rasulullah SAW
kalau hendak mendoakan untuk kebaikan seseorang atau doa atas kejahatan
seseorang, maka beliau doa qunut setelah ruku’ (HR. Bukhori
dan Ahmad).
Sementara bacaan doa untuk qunut nazilah sama
dengan qunut subuh.
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي
فِيمَنْ عَافيْتَ, وَتوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ, وَبَارِكْ لِي فِيمَا
أعْطيْتَ, وَقِنِي شَرَّ مَا ضَيْتَ, فإنَّكَ تَقْضِى وَلا ُيُقْضَى عَلَيْكَ,
فإنَّهُ لا يَذِلُُمَنْ وَالَيتَ, وَلا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ, تَبَارَكْتَ
رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ, أسْتَغْفِرُكَ وَأتُوْبُ إلَيْكَ, وَصَلَّى اللهُ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلأمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
Hanya saja, biasanya dalam qunut nazilah
ditambahkan sesuai kepentingan yang berkaitan dengan musibah yang terjadi.
Misalnya dalam malapetaka di Bosnia yang baru lalu, atau tragedi di Ambon dan
Aceh, atau serangan Israel ke Palestina, kita bisa memohon kepada Allah agar
penderitaan saudara-saudara kita di sana segera berakhir dan Allah mengutuk
mereka yang lalim.
Disunnahkannya qunut nazilah yang sejalan
dengan pendapat ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa’d, Yahya bin
Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh dari para ulama ahlul hadits. Qunut nazilah
tidaklah manzukh sejak turunnya al-Qur’an surat alimran ayat 128, sebagaimana
hadist Abu Hurairah riwayat Bukhari-Muslim yang artinya:
“Adalah
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat
dari raka’at kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat
kepalanya (I’tidal) berkata : “Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu,
lalu beliau berdoa dalaam keadaan berdiri. “Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin
Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah dan orang-orang yang
lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas
kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun
(kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah
kabilah Lihyan, Ri’lu, Dzakw an dan ‘Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Kemudian sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala
telah turun ayat: “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu
atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya
mereka itu orang-orang yang zalim”. (HR.Bukhari-Muslim)
Menurut kalangan yang sepakat masih
disunnahkannya qunut nazilah, termasuk kalangan NU pada umumnya, berpendapat
bahwa berdalilkan dengan hadits tersebut di atas menganggap mansukh-nya qunut
adalah pendalilan yang lemah, karena dua hal: Pertama: ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya, sebab ayat
tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu
kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui
perkara yang ghoib.
Kedua: sebuah hadis
yang diriwayatkan oleh Bukhari yang artinya:
Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu beliau
berkata: “Demi Allah, sungguh saya akan
mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa
sallam. Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Dhuhur, Isya’ dan Shubuh.
Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk
orang-orang kafir”. (HR. Bukhari)
Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum
mansukh. Andaikata qunut nazilah telah mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan
mencontohkan cara sholat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan
qunut nazilah.
b. Qunut Witir
b. Qunut Witir
Pada umumnya di kalangan warga NU mempraktekkan
qunut witir, khususnya untuk qunut witir setelah rukuk pada separuh kedua bulan
Ramadhan. Meskipun diakui bahwa memang ada perbedaan pendapat dari madzhab yang
empat. Perbedaan tersebut yaitu:
1. Menurut
pengikut Imam Abu Hanifah (hanafiyah) qunut witir dilakukan diraka’at yang
ketiga sebelum ruku’ pada setiap shalat sunnah.
2. Menurut
pengikut Imam Ahmad bin Hambal (hanabilah) qunut witir dilakukan setelah ruku’.
3. Menurut
Pengikut Imam Syafi’i (syafi’iyyah) qunut witir dilakukan pada akhir shalat
witir setelah ruku’ pada separuh kedua bulan Ramadlan.
4. Akan tetapi
menurut pengikut Imam Malik qunut witir tidak disunnahkan.
Dalam praktek peribadatan warga NU pada umumnya
cenderung mengambil pendapat Imam Syafi'i. Di antara dasar yang mendukung
pendapat ini antara lain dari Sahabat dan Tabi’in.
Dari ‘Amr bin Hasan, bahwasanya “Umar radhiyallahu anhu menyuruh Ubay
radiyallahu ‘anhu mengimami shalat (tarawih) pada bulan Ramadhan, dan beliau
menyuruh Ubay radhiyallahu ‘anhu untuk melakukan qunut pada pertengahan
Ramadhan yang dimulai pada malam 16 Ramadhan.(HR. Ibnu Abi Syaibah)
Ma’mar berkata: “Sesungguhnya aku melaksanakan
qunut Witir sepanjang tahun,
kecuali pada awal Ramadhan sampai dengan pertengahan (aku tidak qunut),
demikian juga dilakukan oleh al-Hasan al-Bashri, ia menyebutkan dari Qatadah
dan lain-lain”. (Dalam kitab Mushannaf ‘Abdirrazzaq)
kecuali pada awal Ramadhan sampai dengan pertengahan (aku tidak qunut),
demikian juga dilakukan oleh al-Hasan al-Bashri, ia menyebutkan dari Qatadah
dan lain-lain”. (Dalam kitab Mushannaf ‘Abdirrazzaq)
Syaikh al-Albani berkata: “Boleh juga do’a qunut sesudah ruku’ dan ditambah dengan
(do’a) melaknat orang-orang kafir, lalu shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendo’akan kebaikan untuk kaum Musli-min pada pertengahan bulan Ramadhan, karena terdapat dalil dari para Shahabat radhiyallahu ‘anhum di zaman ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Terdapat keterangan di akhir hadits tentang Tarawihnya para Shahabat radhiyallahu ‘anhum, Abdurrahman bin ‘Abdul Qari berkata: ‘Mereka (para Shahabat) melaknat orang-orang kafir pada (shalat Witir) mulai pertengahan Ramadhan, kemudian takbir, lalu melakukan sujud. (HR. Ibnu Khuzaiimah).
(do’a) melaknat orang-orang kafir, lalu shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendo’akan kebaikan untuk kaum Musli-min pada pertengahan bulan Ramadhan, karena terdapat dalil dari para Shahabat radhiyallahu ‘anhum di zaman ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. Terdapat keterangan di akhir hadits tentang Tarawihnya para Shahabat radhiyallahu ‘anhum, Abdurrahman bin ‘Abdul Qari berkata: ‘Mereka (para Shahabat) melaknat orang-orang kafir pada (shalat Witir) mulai pertengahan Ramadhan, kemudian takbir, lalu melakukan sujud. (HR. Ibnu Khuzaiimah).
c. Qunut Subuh
H.M Cholil Nafis
dalam sebuah tulisannya berkaitan dengan masalah qunut subuh, mencoba
mengkompromikan dua pendapat yang bertentangan di antara Ulama Salaf. Pendapat
yang pertama datang dari pengikut
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad yang menyatakan bahwa hukum qunut subuh tidak
disunnahkan. Sedangkan pendapat yang kedua,
datangnya dari Imam Malik dan Imam Syafi'i yang menyatakan bahwa qunut subuh
hukumnya sunnah hai’ah.
Sebelum lebih jauh
mengetahui bagaimana Cholil Nafis mengkompromikan dua pendapat yang berbeda itu
dan pada akhirnya mengambil pendapat yang menetapkan qunut subuh sebagai amalan
sunnah terlebih, dahulu kita mengetahui dasar-dasar dari pendapat yang berbeda
itu.
Pendapat yang
menetapkan bahwa qunut subuh tidak disunnahkan adalah berdasarkan hadis Nabi
hadits Nabi SAW bahwa Nabi pernah melakukan doa qunut pada saat shalat Fajar
selama sebulan telah dihapus (mansukh) dengan ijma’ sebagaimana diriwayatkan
oleh Ibnu Mas’ud:
“Diriwayatkan oleh
Ibn Mas’ud: Bahwa Nabi SAW telah melakukan doa qunut selama satu bulan untuk
mendoakan atas orang-orang Arab yang masih hidup, kemudian Nabi SAW
meninggalkannya.” (HR. Muslim).
Sedangkan pendapat
madzhab yang menetapkan qunut subuh sunnah menyatakan bahwa Rasulullah SAW
ketika mengangkat kepala dari ruku’ (i’tidal) pada raka’at kedua shalat Shubuh
beliau membaca qunut. Dan demikian itu “Rasulullah SAW lakukan sampai
meninggal dunia (wafat)”. (HR. Ahmad dan Abd Raziq).
Imam Nawawi
menerangkan dalam kitab Majmu’nya:
“Dalam Madzhab
kita (madzhab Syafi’i) disunnahkan membaca qunut dalam shalat Shubuh, baik
karena ada mushibah maupun tidak. Inilah pendapat mayoritas ulama’ salaf”.
(al-Majmu’, juz 1 : 504)
Cara pengkompromian
yang dilakukan Chalil Nafis untuk mendapat kesimpulan hukum (thariqatu
al-jam’i wa al-taufiiq) adalah, bahwa hadits Abu Mas’ud (dalil pendapat
Hanafiyyah) menegaskan bahwa Nabi SAW telah melakukan qunut selama sebulan lalu
meninggalkannya tidak secara tegas bahwa hadits tersebut melarang qunut shalat
Shubuh setelah itu. Hanya menurut interpretasi ulama yang menyimpulkan bahwa
qunut shalat subuh dihapus (mansukh) dan tidak perlu diamalkan oleh umat
Muhammad SAW. Sedangkan hadits Anas bin Malik (dalil pendapat Malikiyyah dan
Syafi’iyyah) menjelaskan bahwa Nabi SAW melakukan qunut shalat subuh dan terus
melakukannya sampai beliau wafat.
Chalil sampai pada
kesimpulan, bahwa ketika interpretasi sebagian ulama bertentangan dengan
pendapat ulama lainnya dan makna teks tersurat (dzahirun nashs) hadits,
maka yang ditetapkan (taqrir) adalah hukum yang sesuai dengan pendapat
ulama yang berdasrkan teks tersurat hadits shahih. Jadi, hukum melakukan edoa
qunut pada shalat subuh adalah sunnah ab’adh, yakni ibadah sunnah yang
jika lupa tertinggal mengerjakannya disunatkan melakukan sujud sahwi setelah
duduk dan membaca tahiyat akhir sebelum salam.
Terdapat pula hadis-hadis yang menguatkan pendapat tersebut,
yakni:
Hadis Anas r.a.:
“Sesungguhnya
Nabi s.a.w. berqunut selama sebulan mendoakan kebinasaan atas mereka, kemudian
meninggalkannya. Maka adapun pada sembahyang subuh, beginda masih berqunut
sehingga wafat. (HR jamaah dan dianggap sahih oleh
al-Hakim, al-Baihaqi, al-Daruquthni dll.)
Riiwayat dari
al-Awwam bin Hamzah, katanya: “Aku
bertanya Abu Usman mengenai qunut pada sembahyang subuh, dia berkata: Selepas
rukuk. Aku berkata: Dari siapa? Dia berkata: Dari Abu Bakar, Umar dan
Ustman. (HR al-Baihaqi dan dianggapnya sebagai sahih)
Riwayat al-Baihaqi
dari Abdullah bin Mua’qqal, katanya: “Ali
berqunut pada sembahyang subuh.”
Di dalam
al-Mudauwanah al-Kubra: Waqi’ berkata dari Fithr dari Atho’, “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. berqunut
pada sembahyang subuh, dan sesungguhnya Abu Musa al-Asy’ari, Abu Bakrah, Ibnu
Abbas dan al-Hasan berqunut pada sembahyang subuh.”
Riwayatkan dari Anas
bin Malik dan Abu Rafi’ bahwa kedua-duanya bersembahyang subuh di belakang
Umar, dia berqunut selepas rukuk.
2.2. Muhammadiyah
a.
Qunut
Nazilah
Dalam
masalah qunut nazilah Tarjih Muhammadiyah menampung adanya pemahaman yang
berbeda dan belum dapat dipertemukan, disebabkan pemahaman yang berlainan
mengani hadis yang menerangkan bahwa Rasulullah Saw tidak mengerjakan qunut
Nazilah setelah diturunkan surat Al-Imran ayat 128 “Tak ada sedikitpun
campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima Taubat mereka, atau
mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim. (Q.S.
Al-Imran: 128).
Dalam doa itu
Rasulullah mohon dikutuknya mereka yang telah melakukan kejahatan dan dimohonkan
pembalasan Allah terhadap mereka. Kemudian turunlah ayat di atas.
Pemahaman Tarjih yang timbul dari
riwayat tersebut ialah:
1. Bahwa qunut nazilah
tidak boleh lagi diamalkan
2. Boleh dikerjakan
dengan tidak menggunakan kata kutukan dan permohonan terhadap perorangan.
b.
Qunut
Subuh
Sebagaimana yang
sudah kita ketahui bersama, bahwa di kalangan Muhammadiyah pada umumnya, qunut
yang dibaca khusus pada raka’at kedua setelah rukuk dalam shalat subuh tidak
ada. Tarjih Muhammadiyah menjelaskannya lebih lanjut sebagaimana uraian
berikut:
Di samping perkataan
qunut yang berarti ‘tunduk kepada Allah dengan penuh kebaktian’, Muktamar dalam
keputusannya menggunakan makna qunut yang berarti “berdiri (lama) dalam shalat
dengan membaca ayat al-Qur’an dan berdoa sekehendak hati”.
Dalam perkembangan
sejarah fiqh, demikian Abdul Munir Mulkhan, di masa lampau orang atelah
cenderung untuk memberi arti khusus pada apa yang dinamakan qunut, yakni:
“berdiri sementara” pada shalat shubuh sesudah ruku’ pada raka’at kedua dengan
membaa doa: “Allahummahdini fiman hadait… dan seterusnya”
Muktamar Tarjih tidak
sependapat dengan pemahaman tersebut berdasarkan pemikiran bahwa:
a.
Setelah diteliti
kumpulan maam-macam hadis tentang qunut, maka muktamar berpendapat bahwa qunut
sebagai bagian dari pada shalat tidak khusus hanya ditamakan pada shalat subuh.
b.
Bacaan doa:
“Allahummahdini fiman hadait… dan seterusnya” tersebut tidaklah sah. Penerapan
hadis hasan tentang doa tersebut dalam phoin (2) untuk khusus dalam qunut subuh
tidak dibenarkan.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan
diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapat antara Muhammadiyah dan
NU tentang pelaksanaan qunut. Pelaksanaannya tergantung dari orang yang
menjalankan atau memahami makna qunut sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.referensimakalah.com/2013/05/qunut-menurut-muhammadiyah.html
http://library.walisongo.ac.id/digilib/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jtptiain-gdl-s1-2004-mailanifik-836
http://www.sangpencerah.com/2014/05/mengapa-muhammadiyah-tidak-memakai-qunut.html
Assalamualaikum wrb salam persaudaraan,perkenalkan saya Sri Wulandari asal jambi,maaf sebelumnya saya hanya mau berbagi pengalaman kepada saudara(i) yang sedang dalam masalah apapun,sebelumnya saya mau bercerita sedikit tentang masalah saya,dulu saya hanya penjual campuran yang bermodalkan hutang di Bank BRI,saya seorang janda dua anak penghasilan hanya bisa dipakai untuk makan anak saya putus sekolah dikarenakan tidk ada biaya,saya sempat stres dan putus asa menjalani hidup tapi tiap kali saya lihat anak saya,saya selalu semangat.saya tidak lupa berdoa dan minta petunjuk kepada yang maha kuasa,tampa sengaja saya buka internet dan tidak sengaja saya mendapat nomor tlpon Aki Sulaiman,awalnya saya Cuma iseng2 menghubungi Aki saya dikasi solusi tapi awalnya saya sangat ragu tapi saya coba jalani apa yang beliau katakan dengan bermodalkan bismillah saya ikut saran Aki Sulaiman saya di ritualkan dana gaib selama 3 malam ritual,setelah rituialnya selesai,subahanallah dana sebesar 2M ada di dalam rekening saya.alhamdulillah sekarang saya bersyukur hutang di Bank lunas dan saya punya toko elektronik yang bisa dibilang besar dan anak saya juga lanjut sekolah,sumpah demi Allah ini nyata tampa karangan apapun,bagi teman2 yang mau berhubungan dengan Aki ).Sulaiman silahkan hub 085216479327 insya Allah beliau akan berikan solusi apapun masalah anda mudah2han pengalaman saya bisa menginspirasi kalian semua,Assalamualaikum wrb.JIKA BERMINAT SILAHKAN HUB AKI SULAIMAN 085-216-479-327,TAMPA TUMBAL,TIDAK ADA RESIKO APAPUN(AMAN) .
BalasHapusKalau baca Kitab Fiqih Muhammadiyah terbitan lama (1926), akan tahu kalau Muhammadiyah itu dulunya NU Banget. Baca ini:
BalasHapusJadi, Inilah Kitab Fiqih Muhammadiyah Kuno yang Amaliyahnya Sama Persis Nahdliyyin